Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
Karya: Eka Kurniawan
“Enggak bisa. Aku enggak bisa menjadi kekasihmu. Kamu seperti cahaya dan
aku gelap gulita, sesuatu yang kamu tak akan mengerti.” Tentu saja ia ingin
mengucapkan sesuatu yang tak terucapkan mulutnya: aku tak bisa ngaceng. (Kurniawan, 59-60)
Ia
adalah Ajo Kawir, seorang lelaki yang tidak bisa membahagiakan istri maupun
dirinnya sendiri. Saat berusia 19 tahun, ia menemani Si Tokek, teman
sepermainannya mengintip Rona Merah, seorang janda gila yang menggairahkan
sedang melakukan hubungan seksual dengan dua orang polisi. Ia terpaksa
menyaksikan kejadian tersebut dan sangat menikmatinya. Ketika Ajo Kawir
ditantang salah satu polisi untuk menyetubuhi Rona Merah, tiba-tiba penisnya
tidak bisa ereksi menyerupai seekor burung yang sedang lelap tertidur. Sejak
saat itulah ia tumbuh menjadi lelaki impotensi yang suka berkelahi.
Perkelahian
adalah luapan emosi Ajo Kawir atas ketidaksempurnaannya itu. Ia bahkan pernah
membunuh Si Macan, kakak dari suami Rona Merah dengan cara yang sangat tragis.
Ia memukul kepala lelaki pincang itu hingga nyaris terbelah. Ia juga pernah
mengiris telinga kanan Pak Lebe, pemilik kontrakan yang meniduri Si Janda Muda setelah
membunuh suami janda tersebut. Ajo Kawir tidak pernah takut darah, penjara,
bahkan konsekuensi mati sekalipun. Ia sangat menikmati perkelahian dengan hanya
bermodalkan nekat. Hal ini mengakibatkan orang tua Ajo Kawir menyerah, tidak
sanggup mendidiknya lagi hingga mereka mengamanahkannya kepada Iwan Angsa, ayah
Si Tokek.
Ajo
Kawir termasuk orang yang beruntung ketika ia hendak menemui Pak Lebe. Disana
ia bertemu dengan Iteung, seorang gadis yang menguasai teknik bela diri. Mereka
sempat berkelahi sebelum Iteung membiarkan Ajo Kawir pergi menemui Pak Lebe. Sejak
saat itulah Ajo Kawir mengagumi kemampuan Iteung dan mereka saling mencintai. Mereka
bahkan pernah berciuman dan bercinta di satu tempat parkir yang lengang saat
malam minggu. Hanya saja percintaan tersebut justru membuat Ajo Kawir semakin
gundah ketika ia sadar bahwa dirinya menderita impotensi. Ia pun berinisiatif
menggunakan jarinya sebagai pengganti penis setiap kali mereka bercinta. Tak
berselang lama, Ajo Kawir dan Iteung menikah. Mereka hidup dalam kesederhanaan
dan kehangatan sebuah keluarga bahagia. Namun, rahasia besar Iteung pun
akhirnya terungkap. Iteung hamil tanpa tahu ayah dari calon bayi tersebut.
Jelas bukan
Ajo Kawir yang menghamili Iteung. Mungkin saja Pak Toto, guru sekaligus wali
kelas Iteung yang berhasil merenggut keperawanannya dengan cara memanfaatkan sifat
lugu seorang bocah. Iteung sadar bahwa kelaminnya terasa sakit akibat perbuatan
Pak Toto, tapi ia terlambat menyadari hal itu sebagai pertanda bahwa ia sudah
tidak perawan lagi. Berkali-kali Iteung mencoba melupakan kenangan itu,
berkali-kali pula ia tak sanggup meredam nafsu untuk melakukannya kembali
dengan lelaki lain. Saat itu, ia mengenal Budi Baik, teman seperguruan silatnya.
Mereka sering terlihat bersama sebagai tim kerja yang kompak. Mereka sering
bercanda layaknya teman yang sudah saling mengenal sejak kecil. Hal ini
mengakibatkan Budi Baik berprasangka lain dan mengira bahwa mereka telah
menjadi sepasang kekasih. Prasangka tersebut semakin kuat saat Iteung bersedia tidur
dengannya. Budi Baik salah sangka karena saat itu Iteung telah menemukan cinta
sejatinya, Ajo Kawir. Iteung tidak pernah menganggap Budi Baik sebagai
pacarnya, ia bahkan sering menolak dengan kasar seluruh ajakan dan rayuannya.
Iteung pernah
berpikir bahwa Budi Baik adalah ayah dari bayi yang sedang dikandungnya
mengingat mereka sering berhubungan seksual. Namun, hal itu justru membuatnya
marah. Jika Budi Baik tidak bersedia tidur dengannya, maka ia tidak akan hamil.
Jika ia tidak hamil, maka Ajo Kawir tidak akan marah. Jika Ajo Kawir tidak
marah, maka Ajo Kawir tidak akan pergi merantau meninggalkannya seorang diri. Dendam
dan amarah itu menguasai diri Iteung. Dalam keadaan hamil muda, ia nekat
menemui Budi Baik dan membunuhnya. Budi Baik mati, Iteung masuk penjara, dan
bayi dalam kandungan Iteung lahir serta tumbuh besar tanpa didampangi oleh
kedua orang tuanya.
Sementara itu,
Ajo Kawir bekerja sabagai seorang sopir truk. Perjalanan Jawa-Sumatra dan
Sumatra-Jawa sudah biasa baginya. Saat memulai awal kariernya di bidang
transportasi, ia bertemu dengan Mono Ompong, bocah lugu yang setia menemani kemana
pun ia pergi. Mereka kompak dalam bekerja dan menanggapi ulah Si Kumbang, sopir
truk bengis yang menjengkelkan. Mono Ompong bahkan pernah beradu nyawa dengan
Si Kumbang hingga nyaris mematikan dirinya sendiri. Namun, Mono Ompong
mengikuti saran Ajo Kawir untuk menusuk mata Si Kumbang sehingga ia berhasil
memenangkan pertandingan tersebut. Meskipun Mono Ompong menang, ia tetap harus
rehat selama beberapa bulan untuk memulihkan kembali kakinya yang hampir patah.
Ia pulang ke kampung halamannya dan meninggalkan Ajo Kawir seorang diri.
Di luar
dugaan, Ajo Kawir justru bertemu dengan Jelita,
wanita dengan nama yang indah namun buruk rupa. Ia bahkan tidak memiliki nafsu
sedikit pun untuk menidurinya. Namun, kisah ini berakhir tragis. Ajo Kawir
sering memimpikan Jelita, tidur dengannya, dan sesuatu di balik celana dalamnya
menyembul ingin membebaskan diri. Sesuatu itu semakin lama semakin membesar,
mengeras, dan menyemburkan cairan putih kental yang sangat lengket. Ajo Kawir
bisa ereksi. Ia sangat takjub atas kenyataan itu. Ia pun berpikir bahwa Jelita
lah wanita yang dapat membantunya menjadi pria normal. Pikiran itu semakin
berontak dalam benak Ajo Kawir. Di satu sisi, ia ingin tidur dengan Jelita agar
bisa ereksi. Sedangkan, ia masih ragu atas komitmennya dengan Iteung, wanita
yang telah dinikahinya. Ia selalu ingat bahwa penisnya hanya untuk Iteung. Namun,
ia adalah lelaki normal yang merasa kesepian setelah lama terpisah dengan
istrinya. Ia ingin tidur dengan wanita, ia ingin bercinta. Apalagi Jelita
semakin nakal menggodainya saat ia tengah mandi di salah satu toilet sebuah pom
bensin. Jelita tiba-tiba menyeruak masuk toilet sebelum Ajo Kawir sempat menutup
pintu. Keduanya saling pandang cukup lama hingga Jelita semakin mendekat,
menciumi bibir dan kemaluannya. Entah apa yang terjadi, burung itu benar-benar
bangun dan mimpi itu menjadi kenyataan. Ajo Kawir bisa ereksi. Ia
mempergunakannya untuk bersetubuh dengan Jelita. Sesuatu yang aneh pun terbesit
dalam benak Ajo Kawir, ia merasa pernah mengenalnya sewaktu ia masih berusia
belasan tahun. Ia sadar, Jelita mirip Rona Merah. Setelah menyadari burungnya
yang tidak lagi tidur, Ajo Kawir berniat menemui Iteung yang telah bebas dari
penjara. Ia sudah sangatlah merindukan istrinya itu. Ia ingin bercinta dengan
Iteung layaknya lelaki normal. Ia ingin memuaskan nafsu Iteung yang dulu sempat
tertunda. Hanya saja hal itu tidak pernah terjadi.
Saat Ajo Kawir
berhasil menemui istrinya, ia justru semakin kecewa. Iteung harus masuk penjara
lagi karena telah membunuh dua polisi yang menyebabkan burung Ajo Kawir tidur. Awalnya,
Iteung berpikir bahwa itu adalah cara terbaik untuk membantu membangunkan
burung suaminya. Namun, ia salah. Burung itu telah bangun, bisa menggeliat, dan
membesar karena Jelita. Seharusnya Iteung tidak seceroboh itu. Ia kembali
membuat Ajo Kawir menunggu untuk menidurinya. Ia pun berhasil membuat burung
itu ingin tidur kembali.
“Aku akan bersabar menunggunya, seperti kau bersabar menungguku bangun,
Tuan. Bolehkah sementara menunggu, aku tidur lagi?” (Kurniawan, 243)
*Tulisan ini dibuat untuk tugas Bahasa Indonesia di semester 2. Awalnya merasa susah dan risih dengan konten atau bahasa novelnya. Namun, setelah dibaca secara keseluruhan saya mengerti bahwa itulah seni menulis dengan gaya bahasa dan nilai estetika masing-masing untuk menyampaikan maksud atau pesan tertentu.
No comments:
Post a Comment