Wednesday, December 30, 2015

Resensi Novel

Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas

Karya: Eka Kurniawan

“Enggak bisa. Aku enggak bisa menjadi kekasihmu. Kamu seperti cahaya dan aku gelap gulita, sesuatu yang kamu tak akan mengerti.” Tentu saja ia ingin mengucapkan sesuatu yang tak terucapkan mulutnya: aku tak bisa ngaceng. (Kurniawan, 59-60)
            Ia adalah Ajo Kawir, seorang lelaki yang tidak bisa membahagiakan istri maupun dirinnya sendiri. Saat berusia 19 tahun, ia menemani Si Tokek, teman sepermainannya mengintip Rona Merah, seorang janda gila yang menggairahkan sedang melakukan hubungan seksual dengan dua orang polisi. Ia terpaksa menyaksikan kejadian tersebut dan sangat menikmatinya. Ketika Ajo Kawir ditantang salah satu polisi untuk menyetubuhi Rona Merah, tiba-tiba penisnya tidak bisa ereksi menyerupai seekor burung yang sedang lelap tertidur. Sejak saat itulah ia tumbuh menjadi lelaki impotensi yang suka berkelahi.
            Perkelahian adalah luapan emosi Ajo Kawir atas ketidaksempurnaannya itu. Ia bahkan pernah membunuh Si Macan, kakak dari suami Rona Merah dengan cara yang sangat tragis. Ia memukul kepala lelaki pincang itu hingga nyaris terbelah. Ia juga pernah mengiris telinga kanan Pak Lebe, pemilik kontrakan yang meniduri Si Janda Muda setelah membunuh suami janda tersebut. Ajo Kawir tidak pernah takut darah, penjara, bahkan konsekuensi mati sekalipun. Ia sangat menikmati perkelahian dengan hanya bermodalkan nekat. Hal ini mengakibatkan orang tua Ajo Kawir menyerah, tidak sanggup mendidiknya lagi hingga mereka mengamanahkannya kepada Iwan Angsa, ayah Si Tokek.
            Ajo Kawir termasuk orang yang beruntung ketika ia hendak menemui Pak Lebe. Disana ia bertemu dengan Iteung, seorang gadis yang menguasai teknik bela diri. Mereka sempat berkelahi sebelum Iteung membiarkan Ajo Kawir pergi menemui Pak Lebe. Sejak saat itulah Ajo Kawir mengagumi kemampuan Iteung dan mereka saling mencintai. Mereka bahkan pernah berciuman dan bercinta di satu tempat parkir yang lengang saat malam minggu. Hanya saja percintaan tersebut justru membuat Ajo Kawir semakin gundah ketika ia sadar bahwa dirinya menderita impotensi. Ia pun berinisiatif menggunakan jarinya sebagai pengganti penis setiap kali mereka bercinta. Tak berselang lama, Ajo Kawir dan Iteung menikah. Mereka hidup dalam kesederhanaan dan kehangatan sebuah keluarga bahagia. Namun, rahasia besar Iteung pun akhirnya terungkap. Iteung hamil tanpa tahu ayah dari calon bayi tersebut.
Jelas bukan Ajo Kawir yang menghamili Iteung. Mungkin saja Pak Toto, guru sekaligus wali kelas Iteung yang berhasil merenggut keperawanannya dengan cara memanfaatkan sifat lugu seorang bocah. Iteung sadar bahwa kelaminnya terasa sakit akibat perbuatan Pak Toto, tapi ia terlambat menyadari hal itu sebagai pertanda bahwa ia sudah tidak perawan lagi. Berkali-kali Iteung mencoba melupakan kenangan itu, berkali-kali pula ia tak sanggup meredam nafsu untuk melakukannya kembali dengan lelaki lain. Saat itu, ia mengenal Budi Baik, teman seperguruan silatnya. Mereka sering terlihat bersama sebagai tim kerja yang kompak. Mereka sering bercanda layaknya teman yang sudah saling mengenal sejak kecil. Hal ini mengakibatkan Budi Baik berprasangka lain dan mengira bahwa mereka telah menjadi sepasang kekasih. Prasangka tersebut semakin kuat saat Iteung bersedia tidur dengannya. Budi Baik salah sangka karena saat itu Iteung telah menemukan cinta sejatinya, Ajo Kawir. Iteung tidak pernah menganggap Budi Baik sebagai pacarnya, ia bahkan sering menolak dengan kasar seluruh ajakan dan rayuannya.
Iteung pernah berpikir bahwa Budi Baik adalah ayah dari bayi yang sedang dikandungnya mengingat mereka sering berhubungan seksual. Namun, hal itu justru membuatnya marah. Jika Budi Baik tidak bersedia tidur dengannya, maka ia tidak akan hamil. Jika ia tidak hamil, maka Ajo Kawir tidak akan marah. Jika Ajo Kawir tidak marah, maka Ajo Kawir tidak akan pergi merantau meninggalkannya seorang diri. Dendam dan amarah itu menguasai diri Iteung. Dalam keadaan hamil muda, ia nekat menemui Budi Baik dan membunuhnya. Budi Baik mati, Iteung masuk penjara, dan bayi dalam kandungan Iteung lahir serta tumbuh besar tanpa didampangi oleh kedua orang tuanya.
Sementara itu, Ajo Kawir bekerja sabagai seorang sopir truk. Perjalanan Jawa-Sumatra dan Sumatra-Jawa sudah biasa baginya. Saat memulai awal kariernya di bidang transportasi, ia bertemu dengan Mono Ompong, bocah lugu yang setia menemani kemana pun ia pergi. Mereka kompak dalam bekerja dan menanggapi ulah Si Kumbang, sopir truk bengis yang menjengkelkan. Mono Ompong bahkan pernah beradu nyawa dengan Si Kumbang hingga nyaris mematikan dirinya sendiri. Namun, Mono Ompong mengikuti saran Ajo Kawir untuk menusuk mata Si Kumbang sehingga ia berhasil memenangkan pertandingan tersebut. Meskipun Mono Ompong menang, ia tetap harus rehat selama beberapa bulan untuk memulihkan kembali kakinya yang hampir patah. Ia pulang ke kampung halamannya dan meninggalkan Ajo Kawir seorang diri.
Di luar dugaan, Ajo Kawir justru bertemu dengan  Jelita, wanita dengan nama yang indah namun buruk rupa. Ia bahkan tidak memiliki nafsu sedikit pun untuk menidurinya. Namun, kisah ini berakhir tragis. Ajo Kawir sering memimpikan Jelita, tidur dengannya, dan sesuatu di balik celana dalamnya menyembul ingin membebaskan diri. Sesuatu itu semakin lama semakin membesar, mengeras, dan menyemburkan cairan putih kental yang sangat lengket. Ajo Kawir bisa ereksi. Ia sangat takjub atas kenyataan itu. Ia pun berpikir bahwa Jelita lah wanita yang dapat membantunya menjadi pria normal. Pikiran itu semakin berontak dalam benak Ajo Kawir. Di satu sisi, ia ingin tidur dengan Jelita agar bisa ereksi. Sedangkan, ia masih ragu atas komitmennya dengan Iteung, wanita yang telah dinikahinya. Ia selalu ingat bahwa penisnya hanya untuk Iteung. Namun, ia adalah lelaki normal yang merasa kesepian setelah lama terpisah dengan istrinya. Ia ingin tidur dengan wanita, ia ingin bercinta. Apalagi Jelita semakin nakal menggodainya saat ia tengah mandi di salah satu toilet sebuah pom bensin. Jelita tiba-tiba menyeruak masuk toilet sebelum Ajo Kawir sempat menutup pintu. Keduanya saling pandang cukup lama hingga Jelita semakin mendekat, menciumi bibir dan kemaluannya. Entah apa yang terjadi, burung itu benar-benar bangun dan mimpi itu menjadi kenyataan. Ajo Kawir bisa ereksi. Ia mempergunakannya untuk bersetubuh dengan Jelita. Sesuatu yang aneh pun terbesit dalam benak Ajo Kawir, ia merasa pernah mengenalnya sewaktu ia masih berusia belasan tahun. Ia sadar, Jelita mirip Rona Merah. Setelah menyadari burungnya yang tidak lagi tidur, Ajo Kawir berniat menemui Iteung yang telah bebas dari penjara. Ia sudah sangatlah merindukan istrinya itu. Ia ingin bercinta dengan Iteung layaknya lelaki normal. Ia ingin memuaskan nafsu Iteung yang dulu sempat tertunda. Hanya saja hal itu tidak pernah terjadi.
Saat Ajo Kawir berhasil menemui istrinya, ia justru semakin kecewa. Iteung harus masuk penjara lagi karena telah membunuh dua polisi yang menyebabkan burung Ajo Kawir tidur. Awalnya, Iteung berpikir bahwa itu adalah cara terbaik untuk membantu membangunkan burung suaminya. Namun, ia salah. Burung itu telah bangun, bisa menggeliat, dan membesar karena Jelita. Seharusnya Iteung tidak seceroboh itu. Ia kembali membuat Ajo Kawir menunggu untuk menidurinya. Ia pun berhasil membuat burung itu ingin tidur kembali.
“Aku akan bersabar menunggunya, seperti kau bersabar menungguku bangun, Tuan. Bolehkah sementara menunggu, aku tidur lagi?” (Kurniawan, 243)
*Tulisan ini dibuat untuk tugas Bahasa Indonesia di semester 2. Awalnya merasa susah dan risih dengan konten atau bahasa novelnya. Namun, setelah dibaca secara keseluruhan saya mengerti bahwa itulah seni menulis dengan gaya bahasa dan nilai estetika masing-masing untuk menyampaikan maksud atau pesan tertentu.

No comments:

Post a Comment